Selasa, 25 Oktober 2016

Pena Sang Mentari #1

“Salam jumpa, salam kasih.
Ucap rindu untuk kalian yang menanti”

Jiaah.. Kepedean banget yaa.. gapapa. Hidup kadang perlu dipedein, yang saya jelaskan di sini berbeda dengan percaya diri yaa.. walaupun sebenarnya sama. Tapi, yang saya tekankan disini adalah percaya diri lebih, atau kepedean. “Hidup kadang perlu dipedein”. Kenapa? Orang yang kepedean, menurut saya adalah orang yang mencoba membangun kepercayaan dirinya. Kenapa saya berpendapat begitu? Sudaaaaaah.. kebanyakan nanya, gak selesai-selesai ini..

Kurang lebih sudah 5 bulan, saya baru mulai memosting blog lagi, kenapa? Sudaaaah.. kebanyakan nanya, Sabaaaar... Saya alhamdulillah sudah mulai disibukan dengan berbagai kegiatan yang mengasah kemampuan berorganisasi. Mulai dari kegiatan UNITAS di kampus, pementasan drama di semester 3, 2 kali pementasan drama di semester 4, ikut perlombaan Festival Teater Jakarta Selatan bersama Teater DNA pada tanggal 24 September lalu, Koordinator acara di acara ulang tahun CCE Community dan menyutradarai drama musikal yang ada dirangkaian acara, dan.. masih banyak lainnya. Syukurnya adalah saya dapat mengikuti kegiatan yang cocok dengan kemampuan saya, dan terpenting saya sukai, dengan begitu saya bisa menikmati. Lelah? Yaaa memang lelah, tapi anggap seperti terpaan angin ke pohon yang menjulang tinggi, seperti jalan dengan sedikit batu kerikil, seperti nasi padang yang kurang begitu nikmat karena sambel ijonya dikit... yaaa seperti itulaaah...

“Jangan pernah merasa lelah. Sampai lelah, terasa lelah untuk mengikutimu. Tetap semangat, hingga semangat heran melihat semangatmu” –Dita Jumanto (Enje)

Saat ini, saya akan menceritakan pengalaman-pengalaman yang telah saya lalui sesuai dengan apa yang telah saya sebutkan. Saya akan menceritakan sesuatu kejadian menarik dari pengalaman tersebut.

Pementasan Drama di semester 3
Mungkin ini gak berbeda jauh dengan cerita yang pernah saya tulis di postingan sebelumnya. Semester 3 ini menurut saya adalah semester awal menuju pengerucutan jurusan. Pada semester sebelumnya; 1 dan 2. Masih sekedar materi-materi. Bisa dianggap semester 1 dan 2 ini adalah semester perkenalan. Kami diperkenalkan tentang jurusan yang kami pilih, kami diberikan pemahaman dari timbulnya pertanyaan “Apa tujuan kalian memilih jurusan bahasa Indonesia?” atau “Apa yang akan kalian dapatkan dari belajar di jurusan bahasa Indonesia” dan pemahaman-pemahaman lainnya.

Kembali ke topik. Di semester 3 ini saya ada sebuah pementasan drama tanggal 1 Desember 2015. Yaa.. sudah hampir setahun yang lalu. Di pementasa ini, saya menampilkan drama yang berjudul “Pena Sang Mentari” yang dibuat oleh saya sendiri. 

Berkisahkan tentang perjuangan mahasiswa bahasa Indonesia yang bernama Amar, untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang penulis. Berbagai sindiran dan keraguan orang-orang tentang jurusan bahasa Indonesia mampu ia hadapi, walau dekang sedikit drama; Amar memberontak kepada keluarganya yang meragukan bahkan melarang memilih jurusan tersebut. Perjuangan terus berlanjut hingga di suatu ketika, Amar bisa membuat sebuah buku yang menceritakan tentang perjuangannya. Amar mampu menjadi penulis terkenal, bukunya menjadi best seller di Indonesia. Di akhir pentas, Amar berpesan kepada para hadirin untuk terus berjuang, mewujudkan cita-citanya, rintangan pasti ada, yang terpenting seberapa besar tekad kita untuk mewujudkannya.

“Keberhasilan yang paling indah adalah keberhasilan yang berawal dari keraguan orang lain.” –Amar dalam drama Pena Sang Mentari.

Dari Pena Sang Mentari ini, kelas saya berhasil mendapatkan hati para dewan juri sebagai “Tema dan Amanat Terbaik”. walaupun tidak menjadi yang nomor satu, tetapi itu sudah membuat saya bangga dan senang, yang terpenting dari saya selaku penulis naskah dan pemain adalah apa yang disampaikan dapat didengar dan dipahami para hadirin. Penghargaan adalah bonus, proses lah yang menentukan.


Bersambung...

Selasa, 10 Mei 2016

Dengannya Masa Mudaku Terbawa Arah



Menjadi penyendiri adalah bukan suatu yang aku pilih, aku memilih berteman daripada berdiam. Namun, tak bisa dipungkiri. Lambat lawun semua menjadi seperti ini; sendiri atau menyendiri.

“Assalamualaikum..  berangkat maaa”. Aku menyapa Ibuku untuk pergi berangkat ke Toko Buku Gramedia di mall dekat rumah. “Hati-hati.. Jangan lupa shalat”. Jawab Ibuku yang tiada henti mengingatkanku untuk mengingat Sang Pencipta.

Berdiri Aku di tepi jalan, berbalut kemeja biru sederhana, bercelana Jeans panjang berujung sepatu besar seperti sepatu Boot para petani. Sambil menggendong tas coklat dengan eratnya, aku menunggu angkutan usang namun istimewa. Dengannya masa mudaku terbawa arah. Kira-kira 30 menit menunggu ia tak datang jua, ku tengok waktu terus berjalan seiring arah detik jam berputar. Datanglah angkutan usang namun istimewa itu dari kejauhan. Terlihat samar seiring pandangan ke depan, terlihat pengemudi besi tua itu yang juga sudah tua, berjalan sangat lambat, bahkan lebih cepat larinya seorang anak kecil yang berada di sampingnya untuk mengejar layang-layang. Tanganku bersiap-siap memberi aba-aba untuk memberhentikan besi tua itu. Sekiranya sudah semakin dekat jarak antara Dia dengan aku, ku tandai dengan setengah mengangkat tangan kiriku, lalu ku lambaikan dengan jari telunjuk. Bersamaan dengan itu aku berpikir ada yang aneh, “Ajaib!” ilmu macam apa ini? Seakan sang pengemudi itu sudah terhipnotis bahwa jika ada yang mengangkat tangannya lalu melambaikan jari-jarinya itu bertanda bahwa seseorang itu ingin menumpang. Tahu dari mana pengemudi itu? Seperi ada ikatan batin, aku curiga bahwa tanda itu juga termasuk di latihan pengemudi angkutan selain latihan mengenali tanda pada lampu lalu lintas. Lalu muncul dari pintu mobil itu, ada seorang anak muda bergelantungan menyapa semua orang yang ada di pinggir jalan “ayo mba, Pasar Minggu!”. Baju kusut dan kotor seperti baju montir, keringat bercucuran menjadi gaya penampilannya, semakin meyakinkan bahwa ia adalah kondekturnya.
      
      Menurutku menaiki angkutan adalah termasuk kebahagiaan tinggal di Indonesia, karena kita bisa bertemu orang-orang baru di setiap harinya. Sama halnya sebuah perasaan yang datang dan pergi, setiap kehidupan tak ada yang abadi. Posisi kursi yang paling “ideal” terlebih bagi kaum laki-laki adalah di kursi paling belakang, aku tahu kenapa? Karena tidak perlu susah untuk berdiri untuk turun. Namun, sama halnya dengan sebuah pilihan, ada baik dan buruknya. “neraka”nya duduk di kursi paling belakang di sebuah mobil angkutan adalah jika tidak ada kondekturnya “dan” penumpang sedang ramai-ramainya. Di situlah cara berpikir kita diuji, antara berjuang menerobos para penumpang dari berbagai macam bau badan atau bayar dengan cara keluar lebih dahulu lalu membayar langsung ke supir dari luar, namun hati-hati karena bisa disangka kabur (gak bayar).
      
     Hanya dari perjalanan di sebuah angkutan saja, sebenarnya kita sudah bisa mendapatkan cerita yang lucu dan pastinya jarang orang lain dapatkan. Bagaimana tidak? Karena banyak sekali keunikan tersendirinya. Mulai dari yang tadi aku sebutkan, para penumpang yang membayar ongkos angkutan dengan uang seratus ribuan –pada pagi hari-, obrolan dengan para pedagang kaki lima; tukang buah, tukang lem Korea, tukang permen jahe, hingga pengemis yang pura-pura kakinya buntung. Bisakah didapatkan selain di Indonesia? Belum tentu, negara ini terlalu unik untuk dibandingkan. Jadi, menurutku kita sebagai manusia harus mulai bisa menghargai apapun yang ada disekitar dengan se-detail mungkin, karena pasti itu adalah sesuatu yang jarang kita temukan atau bahkan tidak pernah lagi kita temukan.

Minggu, 01 Mei 2016

Rindu Hujan atau Rindu Perasaan

Lembayung senja bersipuh malu
Ketika hujan turun dengan mesranya
Hari ini langit sedang pilu merayu
Hujan turun seakan malu
Seduh..
Pilu..
Tak menentu..

Ingin sekali ku tanya
"Kenapa cepat sekali engkau merindu?"
Senja merindukan hujan
Hujan memberikan kenangan
Seperti ingin mengisyaratkan sebuah perasaan
Lebih nikmat mana?
Hujan turun merindu
Atau engkau berdoa agar hujan mampu memberikan jawaban bagi asmara yang dirindu